PCT (Patent Cooperation Treaty): Sarana yang Memudahkan Permohonan Paten Internasional
Jakarta (19/10) -- Dalam rangka meningkatkan pemahaman mengenai pendaftaran paten internasional melalui Patent Cooperation Treaty (PCT), BISIP hadir memenuhi undangan dari Direktorat Paten dalam kegiatan Sharing Session Permohonan Paten melalui PCT. Patent Cooperation Treaty (PCT) merupakan sistem global yang dibentuk oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) untuk memfasilitasi permohonan perlindungan paten di 157 negara yang menjadi anggota PCT. Pelatihan 3 hari yang diikuti BISIP dilaksanakan dalam rangka menjalankan amanah penugasan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 488/KPTS/HK.520/M/08/2023 tentang Kuasa Pendaftaran Kekayaan Intelektual, Pendaftaran PVT (Perlindungan Varietas Tanaman) dan Penatakelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Rangka Pemanfaatan ATB Kementerian Pertanian, menjadi dasar bahwa pengelolaan KI lingkup BSIP saat ini masih menjadi tugas Balai Informasi Standar Instrumen Pertanian (BISIP).
Dari pelatihan ini diperoleh informasi terkait dengan Global Innovation Index (GII) yang merupakan pemeringkat negara yang menilai kemampuan inovasi berdasarkan beberapa pilar, diantaranya sumber daya manusia dan riset serta output saintek atau inovasi. Dalam sepuluh tahun sejak 2013 hingga 2023, peringkat Indonesia naik 24 tingkat dari peringkat 85 menjadi 61. Namun, peringkat ini diungguli oleh Filipina, yang awalnya di tahun 2013 di bawah Filipina di bawah Indonesia, yaitu peringkat 90, di tahun 2023 menjadi peringkat 56. Indonesia juga masih tertinggal dibanding Vietnam di tahun 2023.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, KemenkumHAM, Indonesia mengungkap bahwa penurunan permohonan paten internasional dapat dilihat dari jumlah permohonan Indonesia di Patent Cooperation Treaty (PCT). Disebutkan bahwa permohonan Indonesia melalui PCT di tahun 2020 yang cuma 4 permohonan naik menjadi 6 permohonan di tahun 2021. Namun, di 2022 permohonan paten melalui PCT turun kembali ke 4 permohonan saja. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan pengajuan permohonan PCT dari negara-negara lainnya, bahkan dari negara lain di ASEAN.
Penurunan jumlah permohonan paten melalui PCT disinyalir Ditjen KI, karena tingginya biaya mulai permohonan hingga granted dan tahap pemeliharaan paten. Sehingga hal ini memerlukan penghitungan untung rugi yang tepat terhadap tingginya biaya permohonan paten dengan angka permintaan produk hasil paten di negara tujuan permohonan paten. Di samping itu, pemahaman inventor atau pemilik paten mengenai permohonan paten melalui PCT juga masih kurang sehingga perlu ditingkatkan. Harapannya, permohonan paten internasional melalui PCT bukan lagi penghalang bagi inventor atau pemilik paten dalam mengembangkan produknya di luar negeri.
Permohonan Paten Internasional
Sebagaimana diketahui sifat perlindungan paten adalah teritorial, sehingga hanya dilindungi di negara dimana paten tersebut didaftarkan. Jika perusahaan, pelisensi atau pelaku usaha akan memproduksi atau memasarkan barang sebagai produk paten ke luar negeri, maka paten terkait harus mendapatkan perlindungan di negara yang bersangkutan.
Sonya Pau Adu, S.H., Sub Koordinator Permohonan Paten menjelaskan, ada beberapa cara melakukan permohonan paten ke luar negeri atau secara internasional. Pertama, secara Direct, yaitu dengan mendaftarkan langsung ke negara tujuan. Kedua, melalui Paris Convention, yaitu dengan memakai hak prioritas melalui proses pendaftaran patennya dulu di Indonesia, lalu juga mengajukan pendaftaran paten ke negara tujuan dalam rentang waktu 12 bulan terhitung sejak pendaftaran paten di Indonesia. Ketiga, melalui PCT, yaitu mendaftarkan patennya melalui Patent Cooperation Treaty (PCT). Cara ini dapat dilakukan dengan memakai hak prioritas yaitu mendaftarkan patennya dulu di Indonesia, dan dapat mempertimbangkan pengajuan di negara tujuan sampai 30-31 bulan (tergantung aturan yang berlaku di negara tujuan). Umumnya, permohonan paten internasional dilakukan dengan cara kedua: Paris Convention atau cara ketiga: PCT. Namun, beberapa hal perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah permohonan nantinya melalui Paris Convention atau PCT.
Kelebihan dan Kekurangan Berbagai Sarana Permohonan Paten Internasional
Krisnayanto, S.H., M.H., Kepala Sub Direktorat Kekayaan Intelektual dan Promosi Universitas Indonesia (UI), berbagi pengalaman dalam mendaftarkan paten di luar negeri. Menurutnya, permohonan melalui PCT dinilai lebih efektif dan mudah dibandingkan menggunakan Paris Convention. Keterlibatan Ditjen KI dalam permohonan paten, akan memudahkan dan lebih tersentralisasi. Berbeda dengan permohonan melalui Paris Convention yang harus melakukan pengurusan sendiri. Hal ini dibenarkan oleh Sonya Pau Adu, SH, Sub Koordinator Pendaftaran Paten, bahwa pendaftaran ke lebih dari dua negara tujuan, lebih menguntungkan jika permohonan dilakukan melalui PCT.
Permohonan melalui PCT memungkinkan pemohon memperoleh waktu selama 30-31 bulan sejak tanggal permohonan paten di Indonesia untuk mendaftarkan di negara tujuan. Sedangkan melalui Paris Convention, pemohon memiliki waktu maksimal 12 bulan sejak tanggal pengajuan paten lokal (paten di Indonesia) untuk mendaftarkan di negara tujuan. Dalam hal persyaratan formalitas, penelusuran paten pembanding secara internasional, dan laporan tinjauan awal, serta publikasi internasional terpusat di sistem PCT. Sebaliknya jika melalui Paris Convention, pemohon harus memenuhi sendiri persyaratan formalitas di setiap negara tujuan pendaftaran paten.
Prosedur Permohonan Paten melalui PCT
Sebelum melakukan permohonan paten melalui PCT, pemohon harus mendaftarkan patennya di Indonesia. Sejak tanggal permohnan patennya di Indonesia, pemohon diberikan waktu selama 12 bulan untuk memikirkan apakah patennya akan didaftarkan ke negara lain atau tidak. Jika paten akan didaftarkan di negara lain melalui PCT, maka pemohon harus mengajukan bukti prioritas berbayar, maksimal 12 bulan sejak tanggal permohonan paten di Indonesia. Bukti prioritas ini diperlukan saat melakukan permohonan paten ke negara tujuan untuk mengunci tanggal kebaruan. Tanggal prioritas adalah tanggal penerimaan/pendaftaran paten di Indonesia dan merupakan tanggal prioritas di negara tujuan. Dengan demikian, kebaruan paten yang diajukan pemohon di negara lain melalui PCT tidak mati oleh patennya sendiri di Indonesia. Adapun syarat pengajuan bukti prioritas, berupa surat permohonan sebagai bukti hak prioritas dan data dukung berupa deskripsi, abstrak, klaim, dan gambar paten yang akan dimohonkan.
Tahap selanjutnya setelah memperoleh bukti hak prioritas, pemohon dapat mendaftarkan paten PCT melalui Ditjen KI sebagai Kantor Penerima (Receiving Office) dengan berbayar. Pada tahap ini terdapat dua pembayaran yang harus dipenuhi pemohon, yaitu transmittal fee/biaya jasa pendaftaran melalui Ditjen KI dan biaya permohonan PCT/filling fee. Permohonan dilakukan melalui aplikasi SAKI Ditjen KI dengan memilih jenis paten yang akan diajukan, yaitu PCT/ID.
Setelah tahap pengajuan permohonan PCT selesai, permohonan paten masuk ke tahap penelusuran internasional dan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan awal yang sifatnya optional. Permohonan penelusuran internasional berbayar dan besarnya tergantung pada negara yang dipilih untuk melakukan penelusuran. Enam negara yang direkomendasikan melakukan penelusuran, yaitu Jepang, Korea Selatan, Rusia, Singapura, Australia, dan Eropa. Penelusuran dilakukan untuk mengidentifikasi apakah invensi yang akan didaftarkan paten internasional dapat dipatenkan dan menetapkan suatu opini tertulis tentang potensi invensi tersebut.
Tahap terakhir adalah memasuki fase nasional di masing-masing negara tujuan permohonan paten. Pada fase ini, pemohon menunjuk konsultan di setiap negara tujuan. Adapun biaya untuk konsultan sangat beragam. Pemberian perlindungan paten merupakan otoritas nasional dari setiap negara tujuan permohonan paten.
Penulis : Okt
Editor : Nng