SNI Dapat Dipersyaratkan Dalam Pemanfaatan Hasil SIP dan ATB
Bogor (12/6) – Pagi ini Focus Group Discussion (FGD) Sesi 1 dengan Unit Kerja di BSIP dilaksanakan di Ruang Display BSIP Perkebunan. FGD ini dilaksanakan atas inisiasi Balai Informasi Standar Instrumen Pertanian (BISIP) dalam kerangka menghadapi tantangan pelaksanaan tugas BISIP sebagaimana ditetapkan dalam Permentan 13/2023 Pasal 155 yaitu pelaksanaan pelayanan informasi dan pengelolaan hasil standardisasi instrumen pertanian.
FGD dibuka dengan arahan Kepala BISIP, Nuning Nugrahani, yang mana dalam pelaksanaan kegiatan ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi atas implementasi tugas dan fungsi dari masing-masing satker lingkup BSIP, termasuk juga membuka ruang improvisasi pelaksanaan fungsi masing-masing, terutama yang beririsan dengan pelayanan informasi dan pengelolaan hasil standar instrumen.
Dr. Ketut Gede Mudiarta sebagai Moderator FGD mengajak peserta yang hadir, perwakilan Satker dan Komisi Teknis lingkup BSIP, untuk saling membuka wawasan dan juga informasi implementasi tugasnya di masing-masing. Wakil dari Komtek Biogen, Ir. Mastur, Ph.D, berkenan menyampaikan pandangannya berkaitan dengan pentingnya Sinergi dan Kolaborasi BSIP dengan Stakeholder dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Hasil Standarisasi Instrumen Pertanian (HSIP) Serta Aset Tak Berwujud (ATB) . Bahwa proses pengembangan SNI harus memiliki prinsip “start from the end” sebagai kunci untuk mendorong penerapan SNI, termasuk sejak penyusunan PNPS. Dapat dipastikan dari rencana PNPS ini secara jelas akan ada sasaran penggunanya ketika RSNI3 sudah menjadi SNI, ujar Mastur.
Diskusi yang membuka wahana dan wawasan atas proses pelaksanaan tugas dan fungsi di masing-masing Unit Kerja ini, memberikan banyak masukan untuk semua Unit Kerja. Perlu kembali melakukan pembelajaran, termasuk mendalami peraturan yang sudah ada, termasuk juga Kepmentan 488/2023 yang secara jelas memberikan amanah bagi BISIP melakukan penatakelolaan ATB. Dengan pemahaman yang sama dan pentingnya kontisbusi ATB terhadap SNI, maka sudah seharusnya Kepmentan ini perlu didorong menjadi Permentan yang mengatur khusus tentang penatakelolaan ATB, ujar Ketut. Kebutuhan standar yang potensinya cukup besar dapat diperoleh dari input mitra stakeholder yang sudah terjalin sejak BPATP, akan menjadi entry point bahwa penerap standar secara tidak sadar akan diterapkan oleh produsen, sebagaimana diinginkan bahwa voluntary dari penerapnya bisa dilakukan dengan menuangkan pada klausul perjanjian kerja sama, ungkap Nuning.
FGD Sesi 1 ini telah mencatat beberapa poin penting, bahwa: 1) perlunya pemenuhan kebutuhan atas pelaksanaan satu akses pelayanan melalui BISIP yang kemudian didukung oleh seluruh Satker BSIP sebagai back officenya; 2) pemanfaatan ATB perlu disusun dengan syarat penerapan SNI guna mendorong penerapan SNI itu sendiri; dan 3) penetapan Permentan terkait penatakelolaan ATB diperlukan untuk mendorong meluasnya penerapan SNI, disamping juga pada akhirnya akan meningkatkan daya saing produk, tutup Nuning sekaligus sebagai bagian rumusan hasil FGD.