Urgensi Bangun Harmonisasi Kekayaan Intelektual dan SNI untuk Dukung Peningkatan Daya Saing
Bogor (13/6/2024)- Bagaimana keterkaitan antara Kekayaan Intelektual dan proses pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) masih menjadi sorotan utama dalam FGD Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil SIP dan ATB Kementan Sesi II. Pelaksanaan FGD kali ini yang berlangsung di RR. Lt. 4 BSIP, Jakarta. FGD Sesi ke-2 kali ini melibatkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) yakni Deputi Pengembangan Standar maupun Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Pusat Fasilitasi Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK), Direktorat Pengolahan dan Bina Mutu, Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Perikanan dan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ir. Mastur, Ph.D dan Tim dari BISIP.
Tujuan FGD sesi kedua ini tidak lain karena keterkaitan tugas dan fungsi Balai Informasi Standar Instrumen Pertanian (BISIP) dalam melaksanakan pemanfaatan dan pengelolaan hasil SIP sesuai dengan Permentan No 13 Tahun 2023 yang diperkuat dengan Kepmentan 488 Tahun 2023. BISIP menginisiasi diskusi guna mengetahui seperti apa pengembangan, pengelolaan, serta keterkaitan antara SNI dan KI, agar kedepan dapat ditentukan langkah strategis mendorong penerapannya untuk kemanfaatan yang besar, sebagaimana pemanfaatan KI melalui kerja sama lisensi dengan perolehan PNBP Royalti, ujar Nuning Nugrahani, selaku Kepala BISIP.
Hal senada disampaikan Dr. Ketut Gede Mudiartha, fungsional API (Analis Pemanfaatan IPTEK Ahli Madya) di BISIP, bahwa penting untuk mengetahui apa dan bagaimana distribusi insentif bagi unsur-unsur yang mendukung pengembangan dan penerapan standar, termasuk bagi riset. Insetif tidak selalu tentang nilai ekonomi tapi juga intangible value, agar mendorong minat dalam penerapan SNI itu sendiri.
Heru Suseno, S.Pi, MT., Direktur PS AKKPK, BSN, menyampaikan bahwa hingga saat ini dalam proses pengelolaan SNI belum pernah diperoleh PNBP Royalti. Namun, disadari benar bahwa KI merupakan bagian yang menunjang pengembangan SNI. Mekanisme keterpakaian unsur KI dalam pengembangan SNI memang belum memiliki regulasi khusus. Peraturan mengenai ini baru berupa pedoman dengan penetapan Kepala BSN yang memberikan acuan bahwa ketika dalam penyusunan SNI menggunakan bagian HKI maka harus melalui proses perizinan terhadap pemilik Hak KI (HKI). Perizinan tersebut tertuang dalam perjanjian lisensi, namun tidak berbayar dan akan disebutkan juga dalam dokumen SNI khususnya di bagian Prakata SNI. Mekanisme masuknya unsur KI dalam bagian-bagian perumusan SNI dibuat lebih generik, dan dihindari untuk unsur KI berada dalam bahan atau proses dan lebih kepada penerapan standar pada performanya, lanjutnya. Hal ini juga diungkap oleh wakil dari Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian, BSN.
Berkaitan dengan penggunaan sebagian KI dalam pengembangan SNI, menurut Handi Nugraha, S.H. M.H. dari Dit Kerja sama KI, DJKI, KemenKumHAM menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi ruang lingkup dari standarisasi dan pengembangannya. Apakah ada pelanggaran hak eksklusif dari Hak Kekayaan Intelektual atau tidak? Proses evaluasi tersebut bisa melalui Intelectual Property Audit, yang akan menjadi proses review yang menyeluruh dan sistematis terhadap aset KI yang dimiliki, digunakan, atau diakuisisi sehingga dapat dilakukan penilaian dan pengelolaan risiko, perbaikan masalah dan/atau penerapan strategi yang terbaik dalam manajemen aset KI.
Saat ini, BRIN sebagai lembaga riset juga tengah mengatur tata kelola KI yang karakternya beragam yang juga memegang prinsip terhadap kebaruan dengan output menjadi publikasi maupun menjadi KI yang didorong sampai ke end user, ujar Mulyadi Sinung Harjono, Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi, BRIN.
Perwakilan dari Kementerian KLHK dan KKP yang juga memiliki tusi perumusan RSNI turut berbagi pengalaman terkait pengelolaan dan pemanfaatan hasil standar yang ternyata juga mengalami tantangan tersendiri, khususnya dalam hal penerapan SNI karena terbatasnya anggaran. Sementara penggunaan unsur KI dalam pengembangan SNI memang belum banyak dilakukan dan diskusi kali ini memperkaya intensi pada prospek pemanfaatan tersebut.
Sebagaimana prinsip yang perlu dipahami bersama, bahwa SNI bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan perdagangan yang sehat, demikian pula keberadaan HKI. Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi antara SNI dan HKI sehingga kedua proses tersebut benar-benar mendatangkan value added bagi penerapnya. Informasi pada FGD Sesi II ini semakin memperkaya apa yang menjadi tujuan FGD, dan kedepan jika dimungkinkan perlu pertemuan lebih lanjut.
Disampaikan pula bahwa prinsip sebagaimana FGD Sesi 1 kemarin, bahwa start from the end terkait dengan upaya mendorong adopsi dan penerapan standar tetap menjadi hal yang bisa menjadi salah satu cara pemanfaatan, ujar Nuning. Dimana hal ini juga mendapat sambutan dari BRIN bahwa kemungkinan apabila riset sudah ada peminatnya akan didorong untuk mendapatkan penetapan standarnya untuk memastikan terus berkelanjutan di industri. Diskusi ini membuka wawasan dan menarik, tutup Nuning mengakhiri diskusi pada FGD Sesi II ini.