Penerapan GAP dan SNI Kakao Dukung Peningkatan Produksi dan Ekspor Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia yang menunjang persediaan devisa negara. Tahun 2022, Indonesia jadi produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi kakao Indonesia tahun 2022 sebanyak 667.300 ton. Jumlah tersebut lebih rendah 3,04% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 688.200 ton. Dari produksi tersebut, Indonesia mampu melakukan ekspor 4,633 ton dengan nilai US$13,190,765.38. Hal ini tentu menjadi tantangan ke depan untuk menentukan langkah strategi dalam peningkatan produksi kakao.
Produksi kakao masih berpeluang untuk ditingkatkan karena pada dasarnya produktivitas kakao nasional mampu mencapai 2-3 ton/ha jika pada proses budidaya hingga pascapanen mengikuti standar yang ada. Pada tahapan budi daya, terdapat panduan berupa Good Agricultural Practices (GAP) sesuai komoditas, termasuk untuk kakao. GAP merupakan salah satu sistem sertifikasi dalam praktik budidaya tanaman sesuai dengan standar yang ditentukan. Jika GAP dilaksanakan dengan benar dan tepat, maka dapat diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, dan ramah lingkungan. Penerapan GAP tanaman kakao diantaranya persiapan lahan, pembibitan, pengendalian OPT, sanitasi, pemangkasan, pemupukan, waktu panen, dan penanganan pasca panen.
GAP tanaman kakao diantaranya yakni memperhatikan persyaratan tumbuh kembang dalam penanaman kakao. Penanaman kakao dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif dilakukan dengan pencambahan benih, sedangkan penanaman kakao vegatatif dapat dilakukan dengan metode sambung pucuk, okulasi atau bisa juga dengan kultur jaringan. Pemupukan dilakukan berdasarkan umur kakao, jika tanaman belum menghasilkan maka pemupukan ditujukan untuk pertumbuhan batang, dengan dosis 100 – 200 gr/aplikasi dengan jenis pupuk N lebih banyak. Sedangkan untuk tanaman yang sudah menghasilkan dosis pupuk 250 – 300 gr/aplikasi dan membutuhkan lebih banyak dosis pupuk P dan K.
Kemudian persyaratan lain yang dapat dipenuhi guna mendukung proses penetrasi pasar domestik dan mancanegara yaitu keberadaan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kakao dan produk turunannya. Diantaranya terdapat SNI 2323-2008-Amd1-2010 Biji Kakao; SNI 3747-2013 Kakao Bubuk; SNI 88998-202 Bubuk Minuman Berbasis Kakao; SNI 7553-2009 Bungkil Kakao; SNI 3749-2009 Kakao Massa; SNI 3748-2009 Lemak Kakao; SNI 8905-202 Alternatif Lemak Kakao (Cocoa butter alternatives/CBA); dan beberapa SNI yang dalam proses penyusunan komite teknis (Komtek) terkait yang kini di bawah koordinasi Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP), tepatnya di BSIP Perkebunan.
Dari aspek perbenihan, BSIP mengupayakan ketersediaan benih yang berkualitas salah satunya melalui BPSI Tanaman Industri dan Penyegar (BPSI Tri) dengan kepemilikan Varietas Unggul Baru (VUB) Tanaman Kakao BL 50. BL 50 merupakan singkatan dari Balubuih Lima Puluh Kota yang menggambarkan asal usul klonnya yakni Sumatera Barat. Varietas ini telah dilepas Kementerian Pertanian dengan SK. Nomor: 649/Kpts/KB.010/10/2017 tertanggal 11 Oktober 2017. Deskripsi BL 50 tercermin dalam bentuk buah yang lonjong besar berwarna merah marun dengan tekstur permukaan kulit buah licin mengkilat dan agak beralur. Potensi produksi varietas BL 50 berupa biji kering/pohon berkisar 3,36 kg/tahun atau setara 3,69 ton/ha/tahun dengan populasi 1.100 pohon/ha. Varietas ini mampu tumbuh pada tipe tanah lempung berpasir dengan ketinggian 490 mdpl.
Keberadaan varietas yang berkualitas serta penerapan GAP maupun SNI yang tepat mampu mendukung produksi kakao yang berkelanjutan dan tentunya mendukung pertanian Indonesia lebih maju, mandiri, modern. (RF/MP).